PELANGI YANG INDAH
Pagi yang cerah, seperti biasa aku berangkat ke sekolah lebih cepat dari teman-temanku yang lain. Disaat matahari mulai terbangun dari peraduan, disaat kicau burung masih terdengar dengan sangat merdu. Ya, pagi buta. Pagi yang masih dalam keheningan. Tak ada yang mampu untuk menyurutkan niatku untuk tetap bersekolah meskipun kondisi ekonomi keluargaku sangat kurang. Jangankan untuk membiayai sekolahku, bahkan untuk makan sehari-haripun tak pernah teratur.
Sejak Ayah meninggal, ibu lah wanita yang ku katakan sangat hebat tak pernah mengenal lelah dan letih yang tiap malamnya selalu merajut helai demi helai benang untuk membuat baju untuk sekedar memenuhi pesanan tetangga. Ibu yang tiap paginya selalu mencari kayu untuk dijadikan kayu bakar untuk memasak dan dijual ke pasar. Dari itu ibu mendapatkan uang yang tak seberapa tapi sangat berharga bagi kami untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-sehari. Aku bangga kepada ibu, semangatnya membuatku selalu berusaha untuk maju, untuk bangkit agar kelak aku bisa membahagiakan ibu. Ibu yang telah berjuang agar aku bias maju, bias menggapai cita-citaku.
Setiap menyusuri jalan ini, aku selalu teringat pesan ayah kalimat yang sering ayah ucapkan ketika aku mulai mengeluh setiap kali aku diterpa masalah. Ditempat ini biasanya ayah berhenti mengantarku untuk pergi bersekolah karena ditempat ini ayah harus bekerja untuk membajak sawah.
“Nak, sebelum melihat pelangi yang indah akan ada hujan dan badai terlebih dahulu. Kita harus kuat dalam menghadapi setiap cobaan dalam hidup ini. Yakin lah badai pasti berlalu, semua akan indah pada waktunya. Berusahalah untukn menggapai cita-cita mu..”
Tiba-tiba aku terbangun dari lamunanku seketika temanku, Tika memanggilku dari kejauhan.
“Ren, dari tadi kamu aku panggilin ko’ ga nyahut-nyahut ?”
“Maaf ya Tik,, aku nda dengar..”
Sepanjang jalan menuju sekolah aku dan Tika saling bercerita satu sama lain. Tika adalah sahabatku sejak dari kecil. Tika selalu membantuku dalam setiap permasalahanku dan bahkan Tika selalu berbagi makanannya denganku karena dia tahu aku tak membawa bekal apalagi uang saku seperti teman-teman yang lain.
***
Sesampainya di sekolah, aku menaruh tas didalam kelas dan mengambil sapu untuk menyapu karena hari itu adalah hari piketku. Selang beberapa saat kemudian teman-temanku datang masuk kelas. Diantara mereka ada saja yang tak suka padaku, entah mengapa. Tapi aku tak pernah membalas keusilan mereka karena bagiku itu adalah cobaan yang harus ku hadapi.
Pelajaran pun dimulai, semangat yang tak pernah memudar semakin hari semakin tampak. Nilai-nilaiku akhir-akhir ini semakin baik, hal ini membawaku kembali menjadi juara kelas. Aku selalu berusaha untuk mempertahankan agar tetap menjadi juara kelas setiap semesternya karena aku sangat mengharapkan untuk mendapatkan beasiswa sehingga aku bisa tetap bersekolah. Aku sangat ingin menjadi seorang dokter, tekadku sudah bulat. Cita-cita ini sangat ingin ku wujudkan karena aku menyadari bahwa ditempat tinggalku sangat membutuhkan tenaga kesehatan.
***
Tiga tahun kemudian
Aku mulai melanjutkan pendidikanku ke jenjang pendidikan lebih tinggi, alhamdulillah.
Dan alhamdulillah aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri Fakultas Kedokteran di Kotaku.
”ini lah awal dari mimpiku, aku harus berusaha dengan lebih giat lagi agar tetap mempertahankan beasiswa ini”, tekadku dalam hati
Setiap libur panjang semester, aku berkunjung ke desa untuk bertemu dengan ibu. Ibu yang sangat ku rindukan, ibu yang selalu memberikan semangat untukku saat aku mulai terjatuh.
***
Libur semester kali ini, aku pulang bersama dengan temanku. Disambut dengan senyuman hangat ibu, hmmm hatiku sangat tenang sekali melihatnya. Ku dekap ibu, rasanya tak ingin aku lepas dari dekapan ibu. Tak terasa air mata tak bisa terbendung dipelupuk mataku.
”aku sayang ibu”
Setelah melepas rindu dengan ibu, aku perkenalkan temanku kepada ibu. Kami masuk kedalam rumah, makanan kesukaanku telah ibu hidangkan. Ibu selalu menyajikan masakan terbaiknya setiap kali aku datang, padahal aku tahu ibu pasti sudah bersusah payah untuk mendapatkan uang untuk menyajikan makanan semewah ini.
Tiba-tiba air mataku menetes lagi, rupanya ibu sadar putrinya yang telah beranjak dewasa ini meneteskan air mata
”Nak, mengapa kau menangis ? Apakah makanan ini sekarang sudah tak kau sukai ?”
Aku masih menangis tak bisa menjawab pertanyaan ibu. Lalu kudekati ibu, ku dekap dalam diam, dalam isak tangisku lebih tepatnya.
”Ibu, aku tahu betapa penuh cintanya engkau memasakkan makanan ini untukku. Aku menangis bukan karena aku bersedih tapi aku sangat bahagia karena aku bisa makan masakan ibu, seseorang yang sangat ku sayangi.”
”Nak, jangan menangis. Kamu anakku, Reni yang kuat. Nda boleh nangis..”, sembari menghapus tangis dipipiku.
Aku sangat tahu, ibu juga bersedih. Aku melihat disudut pandang mata ibu ada sebuah butiran air mata yang dengan yakinnya sebentar lagi akan bergulir. Tapi ibu tak membiarkan air matanya terjatuh dihadapanku, seketika ibu membalikkan tubuhnya.
”Ibu.. aku, Reni berjanji akan membahagiakan dan membuat ibu bangga”, janjiku dalam hati.
***
Setelah liburan usai, aku kembali menjalani aktifitas kuliahku seperti biasa.
Tak akan ku sia-siakan waktu yang ada untuk tak dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Hari ini, ditahun kelima perkuliahanku tiba-tiba saja aku mendapatkan kabar bahwa beasiswa yang kuterima setiap tahunnya tak bisa aku dapatkan.
Sontak aku sangat tercengang, ini tahun terakhirku untuk menggapai cita-citaku tapi mengapa cobaan ini datang disaat waktu yang sebentar lagi akan kugapai mimpiku ini. Pemutusan beasiswa, inilah kenyataannya. Maju atau mundur, entah lah aku tak mampu untuk berfikir terlalu lama karena ini darurat. Aku mencari pekerjaan disela-sela aktifitas perkuliahanku yang padat. Memang uang dari kerjaan sampinganku tak banyak hanya saja ada rasa kepuasan tersendiri dalam hatiku. Sengaja aku tak membicarakan hal ini kepada ibu, karena aku tahu ibu pasti sangat khawatir dengan putrinya ini. Ku kumpulkan uang untuk membiayai kuliahku. Untungnya aku memiliki tabungan, ya......meskipun tak banyak tapi ku rasa cukup. Terkadang perasaan lelah dan jenuh juga ku rasakan, kadang juga terbesit keinginan untuk mengakhiri semua ini.
”Aku lelah dengan situasi seperti ini........”
Semilirnya angin sore ini menemaniku untuk pergi bersama angan. Tiba-tiba saja aku seperti mendengar suara ayah, teringat pesan ayah.
“Aku harus bisa melihat pelangi yang indah, ini adalah cobaan untukku. Aku pasti bisa, aku harus kuat demi ibu..”, gumamku dalam lamunanku.
***
Tak terasa perjuanganku yang selama ini akan berakhir hari ini. Wisuda, ya.. memakai kebaya beserta toga. Dengan didampingi ibu, rasanya bahagia sekali. Andai saja ayah ada..
Tapi aku yakin ayah pasti akan tersenyum melihat putri kecilnya yang kini beranjak dewasa bisa menggapai cita-citanya.
“Terima kasih ayah, nasihatmu selalu memberikan semangat untukku. Terima kasih ibu, pengorbananmu untuk membesarkanku seorang diri tanpa mengeluh sedikitpun sangat memberikan motivasi untukku”
Buliran air mataku pun terjatuh. Ibu melihatnya. Tanpa menginginkan air mata itu terus terjatuh, ibu mendekapku dalam hangat.
***
Mulai menikmati menjalani episode kehidupan yang baru. Melihat orang-orang tua yang datang kepadaku seakan aku selalu ingat kedua orang tuaku.
”Alhamdulillah......”, tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati.
”Ayah, ibu... ini lah pelangi yang indah itu...”
Melihat anak-anak yang berjalan menyusuri sawah untuk berangkat bersekolah. Ada tawa kecil didalam hati, teringat aku disaat itu. Semangat mereka patut untuk ku acungi jempol, semangat yang tak kan memudar sampai menembus batas dan impian.
”Impian akan tercapai jika ada Niat, Usaha, dan do’a”
Karya : Yana Rizqi Rahmawati Shabraniti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar